Sinkronisasi Penelitian Untuk Melestarikan Jamu Indonesia

Bicara jamu tentu tidak lepas dari pengalaman saya pernah bekerja di industri farmasi dan industri obat tradisional. Walaupun tidak cukup lama, tapi setidaknya cukup tahu. Ehm, kalau total lima tahun, lama nggak ya?

1

Bicara jamu, atau diglobalkan menjadi obat tradisional, saat ini malah tidak lepas dari sebuah produk yang iklannya begitu menggelora di media massa lewat jargon ‘kabar gembira’. Ya, produk yang satu itu adalah produk obat tradisional, yang dulunya adalah jamu tapi sekarang sudah naik kelas jadi OHT. Saya kurang tahu apakah produsen sedang menuju ke tingkatan tertinggi obat tradisional, yaitu fitofarmaka. Cuma, sepengetahuan saya, beberapa industri farmasi sedang berproses uji klinis untuk obat tradisional. Tahunya justru dari kawan yang bekerja di lab uji klinis. Jadi paragraf pertama tulisan ini bisa dibantah seketika 🙂

Judul tulisan ini sebenarnya sejalan dengan tema. Cuma, ada baiknya pembicaraan di tulisan ini kita lakukan sesuai terminologi yang digariskan oleh regulator bernama Badan Pengawas Obat dan Makanan. Regulasi BPOM bilang bahwa untuk Obat Tradisional ini ada tiga tingkatan produk yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Di kuliah berjudul Obat Tradisional jaman dulu, pembeda ketiga jenis tingkatan itu adalah pada uji. Jamu bersifat empiris, OHT sudah ada uji pre-klinis. Fitofarmaka sudah sampai pada tahap uji klinis. Nah, jadi kalau membincang tema jamu tapi dalam definisi BPOM, rasanya kita justru mengabaikan upaya banyak pihak untuk meningkatkan harkat dan martabat jamu itu sendiri.

4

Kenapa demikian? Banyak industri, dengan aneka latar belakang, mulai menguji produk jamunya ke level pre-klinis hingga uji klinis. Sudah tentu yang diuji itu adalah jamu. Ketika sudah berefek pada hewan, dan sudah dievaluasi oleh BPOM, maka segeralah si jamu naik harkat dan martabat menjadi OHT. Berikutnya, ketika sudah dinyatakan memberi dampak pada manusia via uji klinis, naik lagi kelasnya jadi fitofarmaka. Nah, argumentasi ini yang akan mengantarkan kita pada pembahasan meluas perihal obat tradisional.

Well, sebagai orang yang pernah bekerja di industri, saya tentu tahu bahwa persaingan industri itu ketat. Dengan demikian, setiap industri harus memiliki daya saing. Dalam konteks jamu, tidak ada lagi perusahaan yang sekadar membuat jamu beras kencur! Beberapa pemain lama di herbal akan tetap mempertahankan resep sendiri, dengan perbaikan kesana-kemari. Adapun pemain baru, atau pemain lama di farmasi yang ingin masuk ke obat tradisional, harus mencari celah sana-sini untuk bisa nimbrung. Bagaimanapun kita tahu bahwa penduduk Indonesia ini sekitar 240 juta. Kalau 10%-nya saja yang sakit, itu sudah banyak. Kalikan dengan harga obat yang dikonsumsi, tentu sudah menjadi nilai yang besar.

5

Nah, daya saing lain adalah produk yang berbeda. Saya pernah agak tertawa mendengar argumen seseorang yang katanya berkecimpung di dunia obat tradisional. Dia bilang, “Industri itu pasti mau mudahnya. Dia hanya akan menggunakan formula yang sudah ada, karena nggak mau repot melakukan riset.”

Ehm, apa iya?

Fakta justru membuktikan sebaliknya. Di Indonesia sedang berkembang baik riset tentang obat tradisional yang dapat berujung pada produk jamu. Salah satu pusat riset milik swasta dengan daya saing mumpuni yang saya tahu adalah DLBS. Sedangkan kalau urusan biofarmaka, tentu saja di Biofarmaka IPB. Paralel, di pemerintahan, Indonesia punya BPPT, punya LIPI, hingga punya kajian via Direktorat Obat Asli Indonesia di Badan POM. Poinnya sama, semuanya melakukan penelitian.

Satu hal yang sering terjadi adalah banyak penelitian dilakukan, tetapi hasilnya terputus begitu saja. Mungkin hanya pusat riset seperti DLBS–yang notabene milik swasta–yang punya roadmap sejak awal penelitian hingga ujung penelitian akan menjadi produk obat tradisional di tataran tertentu. Sementara yang terjadi di dunia pendidikan hingga ke instansi pemerintahan, hanya parsial belaka. Kadang satu institusi meneliti Kayu Manis Cina sampai pada tahap kegunaan untuk diabetes. Namun instansi lainnya malah meneliti aspek lain yang tidak saling sambung. Tentu saja karena tidak ada roadmap yang jelas. Sungguh disayangkan, karena potensi pasar di Indonesia justru mulai dilirik oleh negara lain. Sementara pada saat yang sama, sebagian besar Bangsa Indonesia masih sebatas tahu soal Curcumin.

6

Pak Jokowi ketika blusukan mengatakan agar kelurahan service-nya bisa seperti Bank. Nah, artinya adalah tidak ada salahnya mencontek swasta. Kita ingat ada program Saintifikasi Jamu. Sekarang bagaimana ya kabarnya?

Kebetulan juga katanya Pak Jokowi sebagai Presiden baru hendak menitikberatkan pada pertanian. Sungguh komplet kalau begitu. Pertanian juga adalah sumber bahan baku jamu. Saya sendiri bertemu dengan aneka pemasok bahan baku jamu ketika saya bekerja di Industri Obat Tradisional. Sebagian diantaranya adalah petani yang merangkap bertani produk-produk pertanian pada umumnya.

Sekarang tinggal dibuat sebuah peta kerja yang jelas dari seluruh instansi pemerintah dan pendidikan yang ada. Lembaga penelitian milik negara melakukan sinkronisasi program dengan universitas perihal arah tujuan yang hendak diteliti. Masa kini, tujuan pengobatan adalah pencegahan penyakit tertentu dan perawatan terhadap penyakit degeneratif. Atau kasus lain yang relevan adalah resistensi pada antibiotik. Arahkan penelitian kesana sehingga penelitian punya tujuan yang jelas, tidak sekadar membuktikan hipotesa tertentu tapi kemudian tidak ada manfaat langsungnya.

7

Sesudah warisan alam kita bisa diperoleh manfaatnya, dan sudah dibuktikan baik secara empiris maupun dengan penelitian, maka tahapan selanjutnya adalah perhitungan apakah warisan alam itu bisa diproduksi massal demi kepentingan rakyat banyak. Ya, ini satu hal yang mungkin nggak semua orang tahu.

Dalam produksi obat tradisional itu sangat dikenal yield. Dulu ketika Praktikum Farmakognosi Fitokimia, 10 kg bahan mungkin hanya menghasilkan 1 kg ekstrak. Padahal untuk bisa menghasilkan efikasi, sudah jelas bahwa dosis jamu harus jauh lebih berlipat daripada obat sintetik. Maka feasibility study menjadi aspek yang sangat penting untuk memastikan apakah tanaman nan berguna itu banyak atau tidak ketersediaannya di alam. Basis data menjadi penting disini, seperti penelitian di IPB dalam link ini. Kalau memang sulit, tapi sangat bermanfaat, maka perlu digagas budidayanya secara luas. Kementerian tertentu akan memanggul beban ini.

Sesudah studi dilakukan dan tampaknya bisa diproses, barulah pemerintah bisa memberdayakan usaha kecil dan menengah untuk membantu proses ini. Sehingga kemudian bisa menjadi manfaat bersama.

Simpel kan? Pemerintah membuat rencana kerja yang jelas. Universitas dan lembaga riset menetapkan tujuan penelitian hingga memperoleh tanaman obat yang sesuai untuk dikembangkan. Kementerian Pertanian dan Kesehatan bisa menggagas budidaya tanaman obat ini. Ketika sudah jadi hasil pertanian, Kementerian UKM berikut Badan POM turun tangan dalam memberdayakan pemilik usaha kecil dan menengah untuk menjadi produsen obat tradisional–dimulai dari tataran jamu. Jika sudah jadi, maka ranahnya masuk ke Kementerian Perdagangan, Kesehatan, berikut Badan POM untuk memastikan peredarannya. Kalau begini, sungguh sinergi yang indah. Tidak akan ada lagi UKM yang mengoplos jamu dengan bahan kimia obat sekadar untuk menghasilkan efek terapi yang baik karena mereka sudah diarahkan sedari awal. Konsep itu sebenarnya terjadi karena persaingan usaha. Kalau pemerintah membantu, tentu persaingan bisa dikondisikan sejak dari hulu.

Sebatas ide, berbasis pengalaman. Saya tidak dalam posisi hendak membahas TOGA atau Apotek Hidup karena faedahnya personal, dan semestinya banyak yang sudah menuliskannya. Saya hanya hendak membagi perspektif yang saya tahu, dan bentuk ideal menurut pikiran saya. Soalnya, urusan peraturan perundang-undangan saja, banyak yang tidak sinkron di negara ini, apalagi roadmap penelitian. Yah, semoga negara ini bisa menjadi semakin lebih baik dalam hal apapun, termasuk aneka kegiatan untuk melestarikan jamu sebagai warisan budaya bangsa.

* * *

Daftar Pustaka:

http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection

Tentang ariesadhar

Auditor Wanna Be, Apoteker, dan Author di ariesadhar.com
Pos ini dipublikasikan di Produk dan tag . Tandai permalink.

2 Balasan ke Sinkronisasi Penelitian Untuk Melestarikan Jamu Indonesia

  1. Tiesa berkata:

    Tulisan yang menarik tentang industri obat tradisional di Indonesia, terutama di 2 paragraf terakhir.
    Sebagai seseorang yang juga pernah melakukan penelitian mengenai efikasi suatu ekstrak bahan alam, saya setuju sekali tentang poin riset yang dikemukakan dalam tulisan ini. Sudah nggak jaman masyarakat hanya mengkonsumsi obat tradisional yang berbasis empiris saja. Riset yang baik mengenai efikasi obat tradisional mutlak diperlukan, agar OT tidak hanya menjadi komoditas perdagangan yang mengandalkan promosi gencar, tapi juga disertai dengan manfaat yang jelas dan informasinya bisa dipertanggungjawabkan. Tujuannya kan bikin orang sehat 🙂

Tinggalkan Balasan ke Tiesa Batalkan balasan