Sinkronisasi Penelitian Untuk Melestarikan Jamu Indonesia

Bicara jamu tentu tidak lepas dari pengalaman saya pernah bekerja di industri farmasi dan industri obat tradisional. Walaupun tidak cukup lama, tapi setidaknya cukup tahu. Ehm, kalau total lima tahun, lama nggak ya?

1

Bicara jamu, atau diglobalkan menjadi obat tradisional, saat ini malah tidak lepas dari sebuah produk yang iklannya begitu menggelora di media massa lewat jargon ‘kabar gembira’. Ya, produk yang satu itu adalah produk obat tradisional, yang dulunya adalah jamu tapi sekarang sudah naik kelas jadi OHT. Saya kurang tahu apakah produsen sedang menuju ke tingkatan tertinggi obat tradisional, yaitu fitofarmaka. Cuma, sepengetahuan saya, beberapa industri farmasi sedang berproses uji klinis untuk obat tradisional. Tahunya justru dari kawan yang bekerja di lab uji klinis. Jadi paragraf pertama tulisan ini bisa dibantah seketika 🙂

Judul tulisan ini sebenarnya sejalan dengan tema. Cuma, ada baiknya pembicaraan di tulisan ini kita lakukan sesuai terminologi yang digariskan oleh regulator bernama Badan Pengawas Obat dan Makanan. Regulasi BPOM bilang bahwa untuk Obat Tradisional ini ada tiga tingkatan produk yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Di kuliah berjudul Obat Tradisional jaman dulu, pembeda ketiga jenis tingkatan itu adalah pada uji. Jamu bersifat empiris, OHT sudah ada uji pre-klinis. Fitofarmaka sudah sampai pada tahap uji klinis. Nah, jadi kalau membincang tema jamu tapi dalam definisi BPOM, rasanya kita justru mengabaikan upaya banyak pihak untuk meningkatkan harkat dan martabat jamu itu sendiri.

4

Kenapa demikian? Banyak industri, dengan aneka latar belakang, mulai menguji produk jamunya ke level pre-klinis hingga uji klinis. Sudah tentu yang diuji itu adalah jamu. Ketika sudah berefek pada hewan, dan sudah dievaluasi oleh BPOM, maka segeralah si jamu naik harkat dan martabat menjadi OHT. Berikutnya, ketika sudah dinyatakan memberi dampak pada manusia via uji klinis, naik lagi kelasnya jadi fitofarmaka. Nah, argumentasi ini yang akan mengantarkan kita pada pembahasan meluas perihal obat tradisional.

Well, sebagai orang yang pernah bekerja di industri, saya tentu tahu bahwa persaingan industri itu ketat. Dengan demikian, setiap industri harus memiliki daya saing. Dalam konteks jamu, tidak ada lagi perusahaan yang sekadar membuat jamu beras kencur! Beberapa pemain lama di herbal akan tetap mempertahankan resep sendiri, dengan perbaikan kesana-kemari. Adapun pemain baru, atau pemain lama di farmasi yang ingin masuk ke obat tradisional, harus mencari celah sana-sini untuk bisa nimbrung. Bagaimanapun kita tahu bahwa penduduk Indonesia ini sekitar 240 juta. Kalau 10%-nya saja yang sakit, itu sudah banyak. Kalikan dengan harga obat yang dikonsumsi, tentu sudah menjadi nilai yang besar.

5

Nah, daya saing lain adalah produk yang berbeda. Saya pernah agak tertawa mendengar argumen seseorang yang katanya berkecimpung di dunia obat tradisional. Dia bilang, “Industri itu pasti mau mudahnya. Dia hanya akan menggunakan formula yang sudah ada, karena nggak mau repot melakukan riset.”

Ehm, apa iya?

Fakta justru membuktikan sebaliknya. Di Indonesia sedang berkembang baik riset tentang obat tradisional yang dapat berujung pada produk jamu. Salah satu pusat riset milik swasta dengan daya saing mumpuni yang saya tahu adalah DLBS. Sedangkan kalau urusan biofarmaka, tentu saja di Biofarmaka IPB. Paralel, di pemerintahan, Indonesia punya BPPT, punya LIPI, hingga punya kajian via Direktorat Obat Asli Indonesia di Badan POM. Poinnya sama, semuanya melakukan penelitian.

Satu hal yang sering terjadi adalah banyak penelitian dilakukan, tetapi hasilnya terputus begitu saja. Mungkin hanya pusat riset seperti DLBS–yang notabene milik swasta–yang punya roadmap sejak awal penelitian hingga ujung penelitian akan menjadi produk obat tradisional di tataran tertentu. Sementara yang terjadi di dunia pendidikan hingga ke instansi pemerintahan, hanya parsial belaka. Kadang satu institusi meneliti Kayu Manis Cina sampai pada tahap kegunaan untuk diabetes. Namun instansi lainnya malah meneliti aspek lain yang tidak saling sambung. Tentu saja karena tidak ada roadmap yang jelas. Sungguh disayangkan, karena potensi pasar di Indonesia justru mulai dilirik oleh negara lain. Sementara pada saat yang sama, sebagian besar Bangsa Indonesia masih sebatas tahu soal Curcumin.

6

Pak Jokowi ketika blusukan mengatakan agar kelurahan service-nya bisa seperti Bank. Nah, artinya adalah tidak ada salahnya mencontek swasta. Kita ingat ada program Saintifikasi Jamu. Sekarang bagaimana ya kabarnya?

Kebetulan juga katanya Pak Jokowi sebagai Presiden baru hendak menitikberatkan pada pertanian. Sungguh komplet kalau begitu. Pertanian juga adalah sumber bahan baku jamu. Saya sendiri bertemu dengan aneka pemasok bahan baku jamu ketika saya bekerja di Industri Obat Tradisional. Sebagian diantaranya adalah petani yang merangkap bertani produk-produk pertanian pada umumnya.

Sekarang tinggal dibuat sebuah peta kerja yang jelas dari seluruh instansi pemerintah dan pendidikan yang ada. Lembaga penelitian milik negara melakukan sinkronisasi program dengan universitas perihal arah tujuan yang hendak diteliti. Masa kini, tujuan pengobatan adalah pencegahan penyakit tertentu dan perawatan terhadap penyakit degeneratif. Atau kasus lain yang relevan adalah resistensi pada antibiotik. Arahkan penelitian kesana sehingga penelitian punya tujuan yang jelas, tidak sekadar membuktikan hipotesa tertentu tapi kemudian tidak ada manfaat langsungnya.

7

Sesudah warisan alam kita bisa diperoleh manfaatnya, dan sudah dibuktikan baik secara empiris maupun dengan penelitian, maka tahapan selanjutnya adalah perhitungan apakah warisan alam itu bisa diproduksi massal demi kepentingan rakyat banyak. Ya, ini satu hal yang mungkin nggak semua orang tahu.

Dalam produksi obat tradisional itu sangat dikenal yield. Dulu ketika Praktikum Farmakognosi Fitokimia, 10 kg bahan mungkin hanya menghasilkan 1 kg ekstrak. Padahal untuk bisa menghasilkan efikasi, sudah jelas bahwa dosis jamu harus jauh lebih berlipat daripada obat sintetik. Maka feasibility study menjadi aspek yang sangat penting untuk memastikan apakah tanaman nan berguna itu banyak atau tidak ketersediaannya di alam. Basis data menjadi penting disini, seperti penelitian di IPB dalam link ini. Kalau memang sulit, tapi sangat bermanfaat, maka perlu digagas budidayanya secara luas. Kementerian tertentu akan memanggul beban ini.

Sesudah studi dilakukan dan tampaknya bisa diproses, barulah pemerintah bisa memberdayakan usaha kecil dan menengah untuk membantu proses ini. Sehingga kemudian bisa menjadi manfaat bersama.

Simpel kan? Pemerintah membuat rencana kerja yang jelas. Universitas dan lembaga riset menetapkan tujuan penelitian hingga memperoleh tanaman obat yang sesuai untuk dikembangkan. Kementerian Pertanian dan Kesehatan bisa menggagas budidaya tanaman obat ini. Ketika sudah jadi hasil pertanian, Kementerian UKM berikut Badan POM turun tangan dalam memberdayakan pemilik usaha kecil dan menengah untuk menjadi produsen obat tradisional–dimulai dari tataran jamu. Jika sudah jadi, maka ranahnya masuk ke Kementerian Perdagangan, Kesehatan, berikut Badan POM untuk memastikan peredarannya. Kalau begini, sungguh sinergi yang indah. Tidak akan ada lagi UKM yang mengoplos jamu dengan bahan kimia obat sekadar untuk menghasilkan efek terapi yang baik karena mereka sudah diarahkan sedari awal. Konsep itu sebenarnya terjadi karena persaingan usaha. Kalau pemerintah membantu, tentu persaingan bisa dikondisikan sejak dari hulu.

Sebatas ide, berbasis pengalaman. Saya tidak dalam posisi hendak membahas TOGA atau Apotek Hidup karena faedahnya personal, dan semestinya banyak yang sudah menuliskannya. Saya hanya hendak membagi perspektif yang saya tahu, dan bentuk ideal menurut pikiran saya. Soalnya, urusan peraturan perundang-undangan saja, banyak yang tidak sinkron di negara ini, apalagi roadmap penelitian. Yah, semoga negara ini bisa menjadi semakin lebih baik dalam hal apapun, termasuk aneka kegiatan untuk melestarikan jamu sebagai warisan budaya bangsa.

* * *

Daftar Pustaka:

http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection

Dipublikasi di Produk | Tag | 2 Komentar

Daftar Periksa Audit Sistem Jaminan Halal

Hendak berbagi saya, berhubung saya apoteker baik. Hahahaha. Dalam rangka penerapan konsep sistem jaminan halal, mulai banyak orang yang hendak berproses halal. Nah, untuk itu, berikut saya kasih daftar periksa untuk persiapan audit sistem jaminan halal. Cukuplah untuk jadi bocoran.

Daftar Periksa HAS 23000-1-123

Sila diunduh jika berkenan. 😀 😀

Dipublikasi di Produk | Tag , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan

Barusan ikut training, dan biar nggak lupa mari kita tuliskan disini saja. Sekalian ngisi-ngisi posting. Hahahahaha.

Oke, kalau kita menemukan korban di jalan, yang pertama sekali kita lakukan adalah mengecek situasi. Amankah? Kalau nggak aman, misal di pinggir jalan, ya pinggirkan. Sesudah itu hubungi rumah sakit atau nomor-nomor lainnya yang relevan.

Kemudian, sesudah aman dan sesudah dihubungi, cek dulu orangnya, masih sadar atau nggak. Panggil dahulu, kalau nggak nyahut ya dicubit atau ditekan dadanya.

Kalau masih nggak nyahut juga, lakukan lihat-dengar-rasa pada airway alias jalur nafas. Posisinya adalah muka menghadap ke dada, telinga di atas mulut, sehingga kemudian pipi ada di jalur keluar hidung. Lihat dadanya, gerak apa nggak. Lalu dengar juga di dalam mulutnya ada suara apa. Terakhir, rasakan di pipi apakah ada udara yang mengalir dari hidup atau tidak.

Kalau nafas nggak ada, kasih pernapasan buatan.

Jangan lupa juga cek denyut nadi, bisa di tangan atau di leher. Jika ini nggak ada juga, barulah kita lakukan resusitasi jantung paru. Caranya, posisikan tangan kira-kira 2 jari di atas ujung tulang iga (tulang pisau), lalu tekan sebanyak 30 kali, dilanjutkan tiupan di mulut sebanyak 2 kali.

Sesudah itu, lakukan kembali lihat-dengar-rasa dan pengecekan denyut nadi. Kalau masih sama, coba lagi. Kalau memang nadinya ada, ya baiklah jika kemudian dilanjutkan dengan pernafasan buatan berikutnya. Eh, salah ding, bantuan pernafasan.

Kira-kira begitu, semoga yang saya tulis ini benar. 😀 😀

Dipublikasi di Terminologi | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

CPOB Terbaru?

Iseng browsing malah ketemu link ini:

Klik untuk mengakses CPOB%20Lengkap.pdf

Boleh klik DISINI juga.

Jadi CPOB ada yang baru lagi? -___-”

 

Dipublikasi di Terminologi | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Tentang BPOM

Mengutip dari website resmi POM nih ya.. hehehe.. Sila cek ke http://www.pom.go.id 🙂

Visi dari BPOM adalah:

Menjadi institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, kredibel, dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.

Misi dari BPOM sendiri adalah:

1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional
2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten
3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini
4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang beresiko terhadap kesehatan
5. Membangun organisasi pembelajar (learning organization)

Nah.. nah.. nah… Fungsi dari BPOM adalah..

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan
2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan
3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas badan POM
4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan
5. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.

Budaya organisasi POM sendiri adalah:

PROFESIONAL
KREDIBEL
CEPAT TANGGAP
KERJASAMA TIM
INOVATIF

Nah di bawah Kepala BPOM itu ada yang namanya PUSAT PENGUJIAN OBAT DAN MAKANAN NASIONAL, lalu PUSAT PENYIDIKAN OBAT DAN MAKANAN, lalu PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN, dan lantas PUSAT INFORMASI OBAT DAN MAKANAN.

Nah, soal ada juga 3 deputi disini:

Deputi I isinya BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADITIF
Deputi II isinya BIDANG PENGAWASAN OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK, DAN PRODUK KOMPLEMEN
Deputi III berisi BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA

Gitu dulu yaaaaa.. ^^

Dipublikasi di Terminologi | Tag , , , , , | 1 Komentar

HPLC Alias KCKT

Saya belajar HPLC alias KCKT itu kapan yaaa?? Semester 3 apa 4 kayaknya, which is itu sudah… alamak… long time ago.. Bahkan waktu belajar KCKT ini, mantan-mantan pacar saya masih SMA *eh malah curhat*

*kemudian pingsan*

Oke, refresh doeloe.

HPLC itu singkatan dari High Performance Liquid Chromatography atau P-nya bisa diganti dengan Pressure. Kalau rempong, maka istilah bahasa Indonesia sadja, dikenal sebagai Kromatografi Cair Kinerja Tinggi alias KCKT.

Kalau dari sisi peralatannya, bisa dibilang bahwa KCKT ini termasuk jenis kromatografi kolom karena ada fase diam yang diisikan. Tapi dari sisi pemisahannya, KCKT tergolong kromatografi adsorpsi/partisi *tergantung jenis kolom dan jenis analit*

Katanya sih, analisis dengan KCKT akan mendapatkan pemisahan yang baik dan prosesnya relatif singkat. Tapi sebelumnya harus dipertimbangkan:
– pemilihan pelarut yang sesuai untuk komponen yang hendak dipisahkan
– selain pelarut, kolom juga diperhatikan
– detektornya apalagi
– yang paling penting adalah…. pengetahuan.. hehehe…

Nah, output dari KCKT adalah kromatogram. Ini adalah hubungan waktu sebagai sumbu X dan hasil penanggapan detektor sebagai sumbu Y. X dan Y ala kartesian ya.. Sistemnya adalah memasukkan sampel yang akan berjalan di sepanjang kolom dengan bantuan fase gerak. Kromatogram akan memperlihatkan tanggapan detektor terhadap sampel yang lewat. Akhirnya akan terbentuk model kurva.

Ada beberapa faktor untuk mengetahui kualitas kromatogram.

1. Waktu Retensi

Ini adalah selang waktu yang diperlukan oleh si analit (yang dianalisa) mulai dari di-injek (bukan dinjek dari diinjak ya..) sampai keluar kolom dan sinyalnya ditangkap *hap hap hap* sama detektor. Ini ada dua nih. Waktu retensi analit yang ketahan dalam fase diam (kolom) itu disebut tR. Kalau waktu retensi pelarut pengembang itu namanya tM. Karena fase gerak akan nongol duluan, maka pastinya nilai tM selalu lebih kecil dari tR. Kan nongol duluan, jadi cepet waktunya. Nah, nah, nah.. waktu retensi analit dikurangi waktu retensi pelarut pengembang jadinya waktu rentensi terkoreksi.

2. Faktor Kapasitas

Ini adalah ciri khas analit pada kondisi tertentu yakni komposisi fase gerak, suhu, jenis kolom yang tertentu. Nilai faktor kapasitas yang baik itu 1-10, kalau kecil artinya peak-peak analit belum saling ngimpit dengan puncak fase gerak. Kalau nilianya besar, maka menunjukkan waktu pemisahannya kelamaan. Jaminan faktor ini sebenarnya pada peak-nya aja sih.

3. Jumlah plat teori

Teori kromatografi sebenarnya terkait pada lempeng atau plat-plat pemisahan. Nah, jumlah plat secara teoritis ini adalah banyaknya distribusi keseimbangan dinamis yang terjadi dalam 1 kolom. Kalau proses pemisahan, maunya sih N-nya besar, sehingga pemisahan lebih baik. Simpelnya nih, untuk kolom fase terbalik silika itu disebutkan punya 5000 pelat/meternya kalau dengan ukuran partikel 5 mm. Kalau 10 mm? Bisa 25000 pelat/meter.

4. HETP

Saya ingatnya malah HET. *halah* Jadi HETP ini adalah High Equivalent of Theoretical Plate alias Tinggi/Jarak Setara Plat Teori (TSPT/JSPT). Daripada rempong, maka sebut saja bunga, eh H. Ini maksudnya adalah panjang kolom (mm) yang diperlukan untuk terjadinya sekali keseimbangan distribusi dinamis molekul analit dalam fase gerak dan fase diam. Katanya H itu L per N. Jadi, panjangnya kolom per jumlah pelat.

5. Persamaan Van Deemter

Van Deemter bilang suatu persamaan antara HETP terhadap laju alir fase gerak (m). Jadi katanya:

H = A + B/m + C.m

6. Difusi Eddy

Walaupun Eddy sekarang jadi apoteker yang jualan ikan *salah fokus*, maka ada teori untuk menggambarkan perbedaan jalur aliran yang dilalui molekul analit yang terjadi di dalam kolom. Beda jalur aliran ini terjadi karena partikel fase diam punya ukuran dan bentuk yang berbeda. Si molekul analit ini bakal menempuh jarak yang berbeda dalam waktu tertentu walau melaju dengan kecepatan yang sama.

7. Tailing Factors

Kan namanya juga grafik kartesian, jadinya ya begitulah. Ingat saja kurva distribusi normal. Bakalnya ada ekornya cuy… Nah faktor inilah yang bikin tidak simetris. Hanya yang TF-nya =1 yang simetris dan ngganteng *javanese mode on*. Kalau TF > 1 maka itu disebut tailing, kalau sebaliknya fronting.

Begitu dulu… Namanya juga mengingat-ingat… Salam…

*daripada ini blog kosong.. hihihi…*

 

Dipublikasi di Terminologi | Tag , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Apoteker Industri Farmasi Indonesia

Tulisan ini mencoba menelaah pekerjaan yang ditekuni oleh apoteker. Untuk itu masuk ke blog apoteker123, mungkin memang bukan informasi obat tapi informasi tentang yang membuat obat. Hehe.

Jadi industri farmasi di Indonesia itu mencakup banyak aspek, utamanya berkutat di sekitar 200-an perusahaan. Sebagian dari perusahaan itu adalah grup. Sebutlah Dexa Medica dan Ferron Par Pharmaceutical di Dexa Group. Lalu ada Kalbe Farma dan Hexpharm Jaya di Kalbe Group. Soho Industri Pharmasi dan Ethica di Sohogroup. Rombongan di bawah UniLab masuk pula. Juga termasuk bersaudara adalah Erela dan Erlimpex. Dan masih banyak yang lain.

Produsen ini punya pabrik yang umumnya terletak di Jawa. Ada sih di Sumatera, namun yang namanya menjulang di daratan Andalas hanya Dexa Medica di Jalan Bambang Utoyo 138 Palembang.

Sisanya, berkutat di kawasan industri Pulogadung, Jababeka, Jalan Raya Bogor, sampai ke Gunung Putri. Begitulah peta sumber-sumber obat di Indonesia.

Dan universitas yang punya lulusan farmasi dibilang sedikit karena baru nongol belakangan. Jadilah, kalau ngomong jajaran eksekutif di bidang farmasi pasti nggak jauh-jauh dari PTN-PTN ternama. Kenapa? Sebutlah Universitas Sanata Dharma yang sudah akreditasi A, baru berdiri 1995 alias 17 tahun. Sementara, jajaran atas tentu butuh waktu lebih dari itu. Lulusan pertama USD misal 1999, tentu butuh waktu untuk menapak tinggi di jajaran atas kefarmasian.

Maka, pergaulannya akan itu-itu saja. Dan layaknya industri pada umumnya, pindah kesana dan kemari terjadi. Seorang yang sudah belasan tahun di pabrik B, bisa pindah ke pabrik A. Atau ada yang tiga tahun sekali pindah, sampai sepanjang kariernya bisa 12 perusahaan. Ada pula yang sudah pindah lalu kembali lagi. Nggak beda sama industri dan kantor lain. Menjadi soal lain karena sumber yang masih sedikit untuk level itu.

Kalau sekarang, semakin susah. Apoteker yang dicetak semakin banyak, sementara perkembangan belum cukup menyesuaikan. Apotek misalnya, di beberapa kota malah sudah jenuh. Penuh apotek. Rumah sakit? Peluang muncul karena rintisan Pharmaceutical Care. Dulu? Paling hanya butuh 1-2 apoteker di RS. Ngeri nggak tuh. Pabrik? Persaingan industri tentu tetap jalan. Ekspansi pabrik dan investasi asing sungguh mendukung. Apoteker-apoteker kita mantap-mantap kok. Kemampuannya mumpuni dan teruji.

Yang susah maksud saya tadi adalah naik-nya. Hehe. Karena penuh maka persaingan diperlukan untuk menapak lebih tinggi. Maka kompetensi harus jadi bekal utama.

Sekian dulu ya. Semoga berkenan 🙂

Dipublikasi di Uncategorized | 2 Komentar

Commissioning

Coba dimaknai pertanyaan ini:

ini commissioning bahan atau commissioning formula?

Ini pertanyaan beneran loh.

Mari kita bahas deh.

Menurut definisi di http://poet.lbl.gov/diagworkshop/proceedings/stum/tsld002.htm, dinyatakan bahwa COMMISSIONING adalah:

A systematic process of ensuring that new building systems perform interactively according to the documented design intent and the owner’s operational needs, and that specified system documentation and training are provided the facility staff.

Dan kalau mengutip dari http://www.businessdictionary.com/definition/commissioning.html maka definisinya:

Process by which an equipment, facility, or plant (which is installed, or is complete or near completion) is tested to verify if it functions according to its design objectives or specifications.

Cukup bisa dipahami kan?

Commissioning adalah proses yang berlaku pada fasilitas (alat atau bahkan rangkaian plant) guna menjamin fungsi dan jalannya sesuai spesifikasi, berikut trainingnya.

Jadi jelas, kalau tidak ada yang namanya commissioning berlaku pada formula, apalagi bahan.

Yah, pokoknya berhati-hatilah menggunakan istilah. Jangan sampai rancu dan malah menimbulkan keraguan publik.

Sedikit informasi dari terminologi farmasi 🙂

Dipublikasi di Terminologi | Meninggalkan komentar